Sebagai orang yang lahir dan besar di desa, saya begitu mengenal kehidupan dan karakter beberapa orang,dimana saya pernah tinggal. Rasa kebersamaan memang besaar. Tidak perlu diminta dan di perintah, jika ada tetangga yang memerlukan bantuan, pasti cepat untuk bertindak. Namun ada satu sikap yang menurut saya kurang baik, yaitu rasa iri hati dan kurang bersyukur. Sebagian orang berlomba membangun rumahnya, bukan karena perlu untuk dibangun, bukan juga karena memang berkelimpahan uang, tetapi karena melihat tetangganya membangun lebih baik dari yang ia punya. Membeli barang, entah televisi atau kendaraan, bukan karena memerlukan barang-barang tersebut, melainkan karena melihat tetangganya telah membeli yang baru. Ironis bukan?
Mungkin hal demikian yang dilihat oleh Pengkhotbah dalam pengalaman hidupnya. “Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seseorang terhadap yang lain, …” Rasa iri hati dan ingin seperti orang lain, banyak mendorong orang-orang yang hidup pada zaman Pengkhotbah bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang telah diperoleh terlebih dahulu oleh orang lain. Jika hal ini yang menjadi motivasinya, Pengkhotbah berkata, “… Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.” (Pengkhotbah 4:4). Maksud Pengkhotbah dalam pesan itu adalah, apa pun yang dilakukan, biarlah dilakukan bukan karena iri hati, melainkan karena takut Tuhan.
Dalam beberapa hal, atau bahkan mungkin banyak hal, apa yang kita punya tidak lebih dari apa yang orang lain punya. Namun bukan berarti hal itu membuat kita lebih rendah bukan? Bersyukurlah dengan apa yang ada pada Anda, jangan suka iri. SP